A. Guru Berkedudukan sebagai Profesional
Dalam
ilmu sosiologi kita biasa menemukan dua istilah yang akan selalu berkaitan,
yakni status (kedudukan) dan peran social di dalam masyarakat. Status biasanya
didefinisikan sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu
kelompok atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain. Sedangkan
peran merupakan sebuah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki
suatu status tertentu tersebut.
Status
sebagai guru dapat dipandangan sebagai yang tinggi atau rendah, tergantung di
mana ia berada. Sedangkan perannya yang berkedudukan sebagai pendidik
seharusnya menunjukkan kelakuan yang layak sesuai harapan masyarakat, dan guru diharapkan
berperan sebagai teladan dan rujukan dalam masyarakat dan khususnya anak didik
yang dia ajar. Guru tidak hanya memiliki satu peran saja, ia bisa berperan
sebagai orang yang dewasa, sebagai seorang pengajar dan sebagai seorang
pendidik, sebagai pemberi contoh dan sebagainya.
Apabila
kita cermati, sebenarnya status dan peran guru tidaklah selalu seragam dan
bersifat konsisten sebagaimana tersirat di atas. Ini sesuai dengan standar apa
dan mana yang dipakai dalam menentukan keduanya. Penilaian status dan peran
pada seorang guru di pedesaan tidaklah sama dengan penilaian status dan peran
terhadap seorang guru di perkotaan. Dalam masyarakat industrial dan materialis
status dan peran seorang guru tidaklah se-urgen pada masyarakat
sederhana atau masyarakat pertanian. Salah satu peran guru adalah sebagai
profesional. Jabatan guru sebagai profesional menuntut peningkatan kecakapan
dan mutu keguruan secara berkesinambungan. Guru yang berkualifikasi profesional,
yaitu guru yang tahu secara mendalam tentang apa yang diajarkannya, cakap dalam
cara mengajarkannya secara efektif serta efisien, dan guru tersebut punya
kepribadian yang mantap Selain itu integritas diri serta kecakapan keguruannya juga
perlu ditumbuhkan serta dikembangkan.
Setelah
kita menganggap bahwa status guru merupakan sebuah jabatan yang profesional,
menurut Semana (1994), ia pun dituntut untuk bisa berperan dan menunjukkan
citra guru yang ideal dalam masyarakatnya. Dalam hal ini J. Sudarminto, 1990 (dalam
Semana, 1994) berpendapat bahwa citra guru yang ideal adalah sadar dan tanggap
akan perubahan zaman, pola tindak keguruannya tidak rutin, guru tersebut maju
dalam penguasaan dasar keilmuan dan perangkat instrumentalnya (misalnya system berpikir,
membaca keilmuan, kecakapan problem solving, seminar dan sejenisnya)
yang diperlukannya untuk belajar lebih lanjut atau berkesinambungan. Selain
itu, guru hendaknya bermoral yang tinggi dan beriman yang mendalam, seluruh
tingkah lakunya (baik yang berhubungan dengan tugas keguruannya ataupun
sisialitasnya
sehari-hari digerakkan oleh nilai-nilai luhur dan taqwanya terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Secara nyata guru tersebut harus bertindak jujur, disiplin, adil,
setia, susila dan menghayati iman yang hidup.
Guru
juga harus memiliki kecakapan kerja yang baik dan kedewasaan berpikir yang
tinggi sebab guru sebagai pemangku jabatan yang profesional merupakan posisi
yang bersifat strategis dalam kehidupan dan pembangunan masyarakat. Guru juga harus
terus bisa memantapkan posisi dan perannya lewat usahausaha mengembangkan
kemampuan diri secara maksimal dan berkesinambungan dalam belajar lebih lanjut.
Salah satu yang melandasi pentingnya guru harus terus berusaha mengembangkan diri
karena pendidikan berlangsung sepenjang hayat. Hal ini berlaku untuk diri guru
dan siswa di mana usaha seseorang untuk
mencapai
perkembangan diri serta karyanya tidak pernah selesai (hasilnya tidak pernah
mencapai taraf sempurna mutlak). Selain itu bahwa sistem pengajaran, materi
pengajaran dan penyampaiannya kepada siswa selalu perlu dikembangkan. Hal ini
merupakan dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya
pengembangan sistem pengajaran, pembenahan isi serta teknologi organisasi
materi pengajaran dan pencarian pendekatan strategi, metode, teknik pengajaran
(perkembangan diri siswa) selalu perlu dikaji dan atau dikembangkan demi efektivitas
dan efisiensi kerja kependidikan.
B. Peranan Guru terhadap Anak Didik
Peranan
guru terhadap murid-muridnya merupakan peran vital dari sekian banyak peran
yang harus ia jalani. Hal ini dikarenakan komunitas utama yang menjadi wilayah
tugas guru adalah di dalam kelas untuk memberikan keteladanan, pengalaman serta
ilmu pengetahuan kepada mereka. Begitupun peranan guru atas murid-muridnya tadi
bisa dibagi menjadi dua jenis menurut situasi interaksi sosial yang mereka
hadapi, yakni situasi formal dalam proses belajar mengajar di kelas dan dalam
situasi informal di luar kelas. Dalam situasi formal, seorang guru harus bisa
menempatkan dirinya sebagai seorang yang mempunyai kewibawaan dan otoritas
tinggi, guru harus bisa menguasai kelas dan bisa mengontrol anak didiknya. Hal
ini sangat perlu guna menunjang keberhasilan dari tugas-tugas guru yang
bersangkutan yakni mengajar dan mendidik murid-muridnya. Hal-hal yang bersifat
pemaksaanpun kadang perlu digunakan demi tujuan di atas. Misalkan pada saat
guru menyampaikan materi belajar padahal waktu ujian sangat mendesak, pada saat
bersamaan ada seorang murid ramai sendiri sehingga menganggu suasana belajar
mengajar di kelas, maka guru yang bersangkutan memaksa anak tadi untuk diam sejenak
sampai pelajaran selesai dengan cara-cara tertentu. Tentunya hal di atas juga
harus disertai dengan adanya keteladanan dan kewibawaan yang tinggi pada
seorang guru.
Keteladanan
sangatlah penting. Hal ini sejalan dengan teori “Mekanisme Belajar” yang
disampaikan David O Sears (1985) bahwa ada
tiga mekanisme umum yang terjadi dalam proses belajar anak. Yang pertama adalah
asosiasi atau classical conditioning ini berdasarkan dari percobaan yang
dilakukan Pavlov pada seekor anjing. Anjing tersebut belajar mengeluarkan air
liur pada saat bel berbunyi karena sebelumnya disajikan daging setiap saat terdengar
bel. Setelah beberapa saat, anjing itu akan mengeluarkan air liur bila
terdengar bunyi bel meskipun tidak disajikan daging, karena anjing tadi
mengasosiasikan bel dengan daging.
Kita
juga belajar berperilaku dengan asosiasi. Misalnya, kata “Nazi” biasanya
diasosiasikan dengan kejahatan yang mengerikan. Kita belajar bahwa Nazi adalah
jahat karena kita telah belajar mengasosiasikannya dengan hal yang mengerikan. Mekanisme
belajar yang kedua adalah reinforcement, orang belajar menampilkan
perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan
dan dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang
disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Seorang anak mungkin belajar
membalas penghinaan yang diterimanya di sekolah dengan mengajak berkelahi si
pengejek karena ayahnya selalu memberikan pujian bila dia membela hak-haknya.
Seorang mahasiswa juga mungkin belajar untuk tidak menentang sang professor di kelas
karena setiap kali dia melakukan hal itu, sang professor selalu mengerutkan
dahi, tampak marah dan membentaknya kembali.
Mekanisme
belajar utama yang ketiga adalah imitasi. Seringkali orang mempelajari sikap
dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model.
Seorang anak kecil dapat belajar bagaimana menyalakan perapian dengan meniru
bagaimana ibunya melakukan hal itu. Anak-anak remaja mungkin menentukan sikap
politik mereka dengan meniru pembicaraan orang tua mereka selama kampanye
pemilihan umum. Imitasi ini bisa terjadi tanpa adanya reinforcement eksternal
dan hanya melalui observasi biasa terhadap model. Di antara ketiga macam
mekanisme belajar di atas, imitasi adalah mekanisme yang paling kuat. Dalam
banyak hal anak-anak cenderung meniru perilaku orang dewasa dan selain orang
tua si anak, guru di sekolah merupakan orang dewasa terdekat kedua bagi mereka.
Bahkan di zaman sekarang ini banyak terjadi kasus anak lebih mempunyai
kepercayaan terhadap guru disbanding pada orang tua mereka sendiri. Maka dari
itulah seorang guru harus bisa menunjukkan sikap dan keteladanan yang baik di hadapan
murid-muridnya, biar dikemudian hari tidak akan ada istilah ‘guru kencing
berdiri, murid kencing berlari’.
Selain
keteladanan, kewibawaan juga perlu. Dengan kewibawaan guru menegakkan disiplin
demi kelancaran dan ketertiban proses belajar mengajar. Dalam pendidikan,
kewibawaan
merupakan
syarat mutlak mendidik dan membimbing anak dalam perkembangannya ke arah tujuan
pendidikan. Bimbingan atau pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari
pihak anak dan kepatuhan diperoleh bila pendidik mempunyai kewibawaan. Kewibawaan
dan kepatuhan merupakan dua hal yang komplementer untuk menjamin adanya
disiplin (S. Nasution, 1995).
C. Peranan Guru dalam Masyarakat
Peranan
guru dalam masyarakat tergantung pada gambaran masyarakat tentang kedudukan
guru dan ststus sosialnya di masyarakat. Kedudukan sosial guru berbeda di
negara satu dengan negara lain dan dari satu zaman ke zaman lain pula. Di negara-negara
maju biasanya guru di tempatkan pada posisi social yang tinggi atas
peranan-peranannya yang penting dalam proses mencerdaskan bangsa. Namun keadaan
ini akan jarang kita temui di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sebenarnya
peranan itu juga tidak terlepas dari kualitas pribadi guru yang bersangkutan
serrta kompetensi mereka dalam bekerja.
Pada
masyarakat yang paling menghargai guru pun akan sangat sulit untuk berperan
banyak dan mendapatkan kedudukan sosial
yang tinggi jika seorang guru tidak memiliki kecakapan dan kompetensi di
bidangnya. Ia akan tersisih dari persaingan dengan guru-guru lainnya. Apalagi
guru-guru yang tidak bisa memberikan keteladanan bagi para muridnya, sudah
barang tentu ia justru menjadi bahan pembicaraan orang banyak. Jika dihadapan para
muridnya seorang guru harus bisa menjadi teladan, ia pun dituntut hal yang sama
di dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Penghargaan atas peranan guru
di negara kita bisa dibedakan menjadi dua macam.
Pertama,
penghargaan sosial, yakni penghargaan atas jasa guru dalam masyarakat. Dilihat
dari sikap-sikap sosial anggota masyarakat serta penempatan posisi guru dalam stratifikasi
sosial masyarakat yang bersangkutan. Hal semacam ini akan tampak jelas kita
amati pada mayarakat pedesaan yang mana mereka selalu menunjukkan rasa hormat
dan santun terhadap para guru yang menjadi pengajar bagi anak-anak mereka.
Mereka (masyarakat) lebih biasa memberi kata-kata sapaan santun terhadap guru
seperti pak guru, mas guru dan sebagainya
daripada
profesi-profesi yang lain.
Kedua,
adalah penghargaan ekonomis, yakni penghargaan atas peran guru dipandang dari
seberapa besar gaji yang diterima oleh guru. Dengan kondisi gaji guru-guru di
Indonesia sampai
tahun
2000 an ini, tidak mungkin menjadi sejahtera dalam hal ekonomi hanya dengan
pekerjaan mangajarnya saja. Hal inilah yang menjadikan kurang maksimalnya
peranan guru dalam menjalankan tugas mengajar apalagi melakukan pengabdian pada
masyarakat.
Dalam
perspektif perubahan sosial, guru yang baik tidak saja harus mampu melaksanakan
tugas profesionalnya di dalam kelas, namun harus pula berperan melaksanakan
tugas-tugas pembelajaran di luar kelas atau di dalam masyarakat. Hal tersebut
sesuai pula dengan kedudukan mereka sebagai agent of change yang berperan
sebagai inovator, motivator dan fasilitator terhadap kemajuan serta
pembaharuan. Dalam masyarakat, guru adalah sebagai pemimpin yang
menjadi
panutan atau teladan serta contoh (reference) bagi masyarakat sekitar.
Mereka adalah pemegang norma dan nilai-nilai yang harus dijaga dan
dilaksanakan. Ini dapat kita lihat bahwa betapa ucapan guru dalam masyarakat
sangat berpengaruh terhadap orang lain. Ki Hajar Dewantoro menggambarkan peran
guru sebagai stake holder atau tokoh panutan dengan ungkapan-ungkapan Ing
Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di sini
tampak jelas bahwa guru memang sebagai “pemeran aktif”, dalam keseluruhan
aktivitas masyarakat sercara holistik. Tentunya para guru harus bisa
memposisikan dirinya sebagai agen yang benar-benar membangun, sebagai pelaku
propaganda yang bijak dan menuju ke arah yang positif bagi perkembangan masyarakat.
D. Peranan Guru terhadap Guru Lain
Kalimat
di atas mengandung makna bahwa seorang guru harus bisa berperan untuk
kepentingan komunitasnya sendiri, yakni komunitas para guru. Sebagai sebuah
profesi, biasanya hubungan antar guru satu dengan guru lainnya diwadahi oleh organisasi
yang menaungi dan mewadahi aspirasi mereka. Di negara kita organisasi yang
menaungi para guru, misalnya: PGT (Persatuan Guru TK), PGRI (Persatuan Guru
Republik Indonesia) dan sebagainya. Lewat organisasi-organisasi ini para guru
bisa saling berkomunikasi dan memperjuangkan kepentingan bersama mereka dengan
semangat kebersamaan yang tinggi sehingga apa yang menjadi keinginan para guru
relatif lebih mudah dicapai.
Pertanyaan
yang mendasar sehubungan dengan jenis-jenis organisasi profesi keguruan
tersebut adalah sejauh mana program serta kegiatannya menyentuh kebutuhan diri
guru serta pengembangan karirnya?. Secara operasional seharusnya perjuangan dan
pembinaan yang dilakukan oleh organisasi profesi keguruan tersebut dapat
mengangkat martabat guru yang menjadi anggotanya, memberi perlindungan hukum
bagi guru, meningkatkan kesejahteraan hidup guru, memandu serta mengusahakan
peluang untuk pengembangan karir guru, dan membantu ikut memecahkan konflik-konflik
dan masalah-masalah yang dialami atau yang dihadapi oleh para guru.
Sebenarnya ada ga' seh standarisasi guru pahlawan tanpa tanda jasa itu...?
BalasHapusguru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa hanya ungkapan atas kerja keras dan tanggung jawab mereka sebagai tenaga pendidik yang berperan penting dalam mencerdaskan generasi bangsa. Karna itu dak ado kriteria baku yg ditetapkan. cuma sekarang jarang ada tuh guru yg benar2 pantas disebut sebagai "PAHLAWAN TANPA TANDA JASA". *bahayo bahasa kito sekarang nih.. hehe..
Hapus